Selasa, 17 Agustus 2010

Selamanya,,,


Aku duduk di bawah pohon Akasia yang rimbun. Ditemani semilir angin sore itu. Ku buka memori tentang masa-masa itu. Kejadian-kejadian yang belangsung belum lama ini, seingatku.

Pagi itu, jam rumahku sudah berdenting 6 kali, tanda bahwa sudah pukul 06.00. Aku terperanjat dari tidurku.

Astaga…..kesiangan….”, teriakku.

Segera aku berlari menuju kamar mandi, bukan untuk mandi, namun hanya cuci muka dan gosok gigi. Ku ganti baju tidur dengan baju seragam kebanggaanku, tanpa bersisir, ku ikat rambut ikalku dengan sederhana. Ku tata buku dan segera aku berangkat sekolah.

Sekolah masuk pukul 06.30, sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 06.25. Aku terburu-buru, ku pacu motorku dengan kecepatan tinggi. Ku dahului kendaraan lain dengan cara menyrobot dari sudut kanan ataupun kiri.

Sumpah serapah juga tak jarang dilontarkan dari mulut pengendara yang aku dahului. Aku yakin apabila ada polisi yang melihatku, pasti ditilanglah aku.

15 menit, waktu yang kubutuhkan untuk menempuh 8 km jarak rumah dengan sekolahku. Kurang beruntung aku hari ini, di depan gerbang aku sudah di tunggu oleh Pak satpam dan 3 Ibu guru penegak tata tertib. Ibu guru tersebut sangatlah anggun, namun ketika beliau marah, tidak ada satu muridpun yang mampu berkutik darinya. Pandangan mereka seakan ingin melahapku. Akupun memacu kendaraanku dengan segera agar cepat melewati gerbang menegangkan itu. Sialnya, karena hal tersebut aku justru dihukum oleh ibu guru untuk membersihkan toilet sekolah, sepulang sekolah nanti.

Tidaaaak,,,,”, teriakku dalam hati.

Dalam keadaan yang sangat menyebalkan bagiku itu, tiba-tiba kulihat sesosok lelaki tinggi dan manis, dengan senyum yang menawan, datang menghampiriku dan menupuk pundakku. Tidak salah lagi, dia adalah Dede sahabatku. Dia adalah seorang sahabat yang tak dapat ku ungkapkan dengan kata-kata. Dengan kehadirannya membuatku lebih tenang, karena senyumnya adalah satu hal yang membuatku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Pandangannya teduh dan memikat. Tak heran dia banyak di kelilingi perempuan-perempuan cantik, di sekolah kami.

Dede juga di hukum sama sepertiku. Aku membersihkan toilet bersamanya. Hal yang sangat menyebalkan sebenarnya, namun begitu indah bila kulalui dengannya. Bau toilet yang melebihi bau amoniak menjadi harum bagai bunga Melati. Rasa lelah tak terasa, semua penat hilang ketika aku melihat senyum yang disunggingkannya padaku.

Persahabatan kami membuat banyak orang iri, karena kami selalu kompak dan semuanya menjadi lancar apabila kami lakukan bersama. Banyak yang mengira aku kekasihnya, tapi sungguh tak pantas kata mereka. Dede yang nyaris sempurna, sedangkan aku yang sangat kurang. Kurang tinggi, kurang cantik, kurang berat badan dan sebagainya.

***


Ku inggat juga saat dia marah padaku, ketika dia bertemu denganku, dia diam seribu bahasa. Senyum yang biasa menghiasinya, tiada lagi nampak untukku. Ku coba bicara padanya, tapi aku tak sedikitpun dihiraukannya. Ia hanya mengangguk dan menggeleng. Menyebalkan sekali. Aku bingung seperti cacing kepanasan. Bertindak konyolpun sudah aku lakukan, tapi nihil, dia tidak sedikitpun tertawa, bahkan untuk tersenyum pun tidak. Senyum yang sangat aku rindukan. Dia hanya berbicara seperlunya, dan akupun dan dia akhirnya hanya bisa diam dan hanya diam.

Senja itu di rumah aku memikirkannya, hanya dia. Ku ingat-ingat apa yang salah pada diriku sehingga membuatnya begini. Lamunanku buyar ketika mama memanggilku. Aku diperintah mama agar mengatarkan brownis tawon buatan mama ke rumah Ibu Djulaikha, mama Dede. Aku menolak karena hubunganku sedang tidak baik dengan Dede. Namun, ibu memaksa, karena takut di suruh mencicipi brownis tawon itu, akhirnya aku terpaksa mengantarkan brownis itu kepada mama Dede.

Malamnya aku meluncur ke rumah Dede. Sesampainya di rumah Dede aku segera mengetuk pintu dan mama Dede pun membukakan pintu. Akupun masuk dan menyerahkan kue itu pada mama Dede. Aku dipersilahkan duduk. Mama Dede berkomentar tentang kue itu, tapi tak kupedulikan apa komentarnya. Yang ada dalam benakku hanyalah Dede. Aku ingin sahabatku kembali.

Aku bertanya pada mama Dede, “ Dede dimana tante?”, tanyaku sopan.

Di kamar, dia sedang tidur, sudah dari sore tadi, coba kamu bangunkan gih sana…” pinta mama Dede.

Ya, tante..” jawabku.

Aku segera menuju ke kamar Dede. Aku sering masuk ke kamarnya. Karena kami sudah bersahabat sejak SMP. Ku dapati Dede masih tertidur pulas. Aku sedikit ragu untuk membangunkannya. Ku amati seisi ruangan itu. Ku lihat buku-buku berserakan di sana. Sungguh ciri khas anak laki-laki.

Pandanganku tertuju pada sebuah buku yang unik. Aku tertarik untuk melihatnya. Dalam sampul buku itu tertulis “BUKU KIMIA” tapi, buku itu aneh sekali. Tidak seperti buku-buku yang lain. Buku itu terlihat seperti buku harian.

Naluri jahat muncul dalam benakku. Aku mencoba membuka buku itu dari awal halaman. Setelah ku baca isinya sedikit, aku sudah paham tentang buku itu. Dan jelas itu buku harian milik Dede.

Aku membukanya sampai halaman yang terakhir, halaman paling akhir dia menulis buku harian. Disana tertulis,

“….aku bukan marah padamu, tak ada yang salah pada dirimu, kesalahan terbesarku adalah mencintaimu, Din….”

Aku kaget setengah mati melihat tulisan yang ku baca barusan. Meskipun ada rasa senang yang terdalam di hatiku.



Akan ku lanjutkan membaca lagi, tapi aku kaget ketika melihat Dede bergerak. Kurasa Dede bangun. Karena terburu-buru akupun berlari keluar kamar menghindarinya. Tanpa sadar kujatuhkan buku harian itu. Dede pun terperanjat, melihatku berlari diapun mengejarku. Apalagi dilihatnya buku harian miliknya terbuka.

Karena dia atlet pelari, dalam waktu yang singkat dia telah berada di belakangku. Tak terasa air mataku mengalir. Entah ini air mata bahagia karena cintaku terbalas atau karena bersedih persahabatan yang lama ini akan berubah.

Dia meraih tanganku, seraya berkata, “ Kenapa kamu berlari ??”

Akupun berbalik dan menjawab pertanyaannya, “ Aku takut,,” jawaban yang keluar dengan sendirinya dari mulutku.

Kenapa kau menangis?? Kamu membaca buku harianku ya??” tanyanya padaku.

Maaf aku telah membacanya, tapi apa maksud tulisan-tulisan dalam buku harian itu?”, tanyaku sedikit memaksa.

Kamu marah??”, selidik Dede.

Ya,,aku marah, sedih, dan kecewa.”, jawabku.

Tapi salahkah aku?? Aku memang sangat mencintainya.”, kata Dede.

Nya?? Siapakah dia?? Din, siapa??” tanyaku penasaran.

Ow, baru paham aku,,. Itu,, Dina anak kelas sebelah laboratorium Kimia.”, jelas Dede.

Hah?? Apa?? Lalu kenapa belakangan ini kau marah padaku?”, tanyaku lagi.

Hehehehe,,, Dini,Dini,,” Dede terkekeh.

Niatnya sich mau ngerjain kamu, kamu kan bentar lagi ulang tahun jadinya aku mau ngerjain kamu mulai dari kemarin”, jawabnya ringan.

Akupun memerah, ku yakin, wajahku kala itu bagaikan kepiting rebus, lebih parah ku rasa. Aku malu bukan kepalang. Juga terbesit rasa kecewa yang mendalam dalam hatiku.

Untuk menutupinya, akupun berteriak dan memukulinya,

Dasar jahaaaaat…”, omelku.

Dede justru tertawa terbahak-bahak. Akupun ikut terkekeh, tenggelam dalam gelak tawa. Menipu diri sendiri tentang perasaan hati.

***

Akupun terkesiap ketika melihat sosok yang tak asing datang menghampiriku. Raut muka yang sama dan senyum yang sama pula. Hanya saja, kumis tipis sudah bertengger di bawah hidungnya yang mancung itu, sungguh membuatnya semakin mempesona. Tak salah lagi dia Dede sahabatku, Deka Ardiansyah. Dialah sosok yang sanggup kuhayati bayangannya namun tak dapat ku raih seutuhnya.



Dia berjalan menuju ke arahku. Segera ku berdiri, ku tepuk pundaknya, sama seperti yang biasa dia lakukan padaku, dulu. Tapi aneh, aku tak bisa menyentuhya.

Dia berada persis di depanku. Semakin lama semakin dekat, sampai dia melaluiku. Ku berbalik dan kulihat sesosok gadis cantik menunggunya. Ku rasa dia kekasihnya.


Dia tak bisa melihat sosokku. Aku tersadar bahwa aku telah tiada. Hal yang terindah dalam hidupku adalah menjadi sahabatnya, ada dalam suka dan dukanya sampai sang waktu datang menjemputku.

Akupun menghilang bersama hembusan angin dan hilangnya semburat jingga, senja itu. Namun tidak dengan cintaku yang kan terus abadi untuk selamanya. Hanya untuknya.




Susi Rizki Cahyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar